Pada suatu waktu, terdapat sebuah desa. Desa itu bernama
Desa Cahaya. Desa Cahaya merupakan desa yang indah dan dikelilingi oleh
hutan-hutan yang daun-daunnya pohonnya sangat hijau. Selain itu, di desa ini
terdapat sebuah sungai yang bernama Sungai Kristal. Sungai ini biasa digunakan
sebagai tempat bermain anak-anak. Biasanya, anak-anak akan berenang-renang di
sungai atau menangkap ikan dengan tengan kosong. Orangtua mereka biasanya
memakai hasil tangkapan mereka untuk lauk makan malam. Selain itu, penduduk
desa ini ramah dan rukun. Jarang terjadi perselisihan antara warga satu dengan
warga yang lain.
Di antara para
penduduk desa itu, ada seorang gadis kecil yang tinggal di sebuah rumah dekat
Sungai Kristal. Nama gadis itu adalah Syariah Hidayatul atau lebih sering
dipanggil Syari. Syari merupakan gadis pendiam yang jarang sekali bermain
dengan anak-anak di desanya. Syari memiliki seorang adik laki-laki bernama
Hafidz. Berbeda dengan Syariah, Hafidz merupakan anak periang, dia sering
bermain keluar entah petak umpet, tangkap ikan, atau permainan lainnya. Dia
bahkan pernah pulang sore karena keasyikan bermain.
Suatu hari, Hafidz
lagi-lagi pulang terlalu sore. Karena sudah mendekati waktu maghrib, ibunya
meminta bantuan kepada Syari.
“Sayang, bisa tolong
panggilkan Hafidz? Ini sudah mau mendekati malam.” pinta Bu Shafira, ibu dari
Syari.
“Iya, Bun. Syari
pergi dulu, ya, assalamu’alaikum,” pamit Syari.
“Makasih, Nak.
Wa’alaikumussalam.” balas Bu Shafira.
Syari pergi ke
lapangan tempat Hafidz biasanya bermain bola basket. Benar saja, saat Syari
tiba di lapangan, dia melihat Hafidz sedang memantul-mantulkan bola basketnya.
“Hafidz, bunda bilang
kamu harus pulang!” seru Syari sambil menatap Hafidz. Hafidz langsung memasang
muka cemberut.
“Ih, Kakak, lagi
seru-serunya juga.” sahut Hafidz ketus. “Aku duluan, ya, Faza, Ghani.
Wa’alaikumussalam,” pamit Hafidz kepada kedua temannya. Kedua temannya pun
langsung membalasnya sambil melambaikan tangan.
“Seru, Fidz?” tanya
Syari sambil tersenyum manis.
“Seru, dong, Kak!”
jawab Hafidz sambil mengacungkan jempolnya.
“Bagus, deh.” tanggap
Syari sambil mengacungkan jempolnya.
Selesai makan malam,
Syari sedang membaca buku al-Qur’an di kamarnya. Dia tidak memakai mukena
karena kerudung birunya sudah cukup menutupi tubuhnya. Tepat pada saat itu, Bu
Shafira memasuki kamar Syari.
“Syar, sini. Bunda mau
bicara dulu sama kamu!” seru Bu Shafira sambil mengayun-ayunkan tangannya
memberi isyarat kepada Syari.
“Syari langsung
mengakhiri bacaan al-Qur’annya. “Shadaqallahul’adziim. Iya, Bun,” Syari
langsung membalas seru Bu Shafira dan berdiri tepat di depan Bu Shafira.
“Syar, Bunda
perhatikan kamu selama ini, kamu itu selalu menyendiri. Apakan tidak lebih baik
kamu berteman dengan seseorang?” tanya Bu Shafira.
“Enggak, Bun. Syari
udah puas, kok, dengan kehidupan Syari yang seperti ini. Yang penting, kan
Syari tidak kenapa-napa, Bun.” jawab Syari santai.
“Tapi kamu bisa
kesepian, Syar. Hafidz saja sudah punya banyak teman.” lanjut Bu Syafira sambil
memegang pundak Syari.
“Udah, Bun. Syari
baik-baik saja, kok,” jawab Syari kembali.
“Begini saja. Bunda
akan daftarkan kamu ke DKM Masjid Ash-Shaff, masjid yang dekat rumah kita.
Dengan begitu, kamu bisa punya banyak teman.” usul Bu Shafira kepada Syari.
Mata Syari
membelalak. “Bun, Syari malu. Syari belum kenal banyak anak-anak di desa ini.
Masa Bunda mau mempermalukan Syari, sih!?” Syari menolak keras usulan Bu
Shafira.
“Gak apa-apa, Syar.
Nanti juga lama-lama kamu terbiasa, kok,” jelas Bu Shafira.
“Bun, Syar tidak…”
Syari mencoba berbicara tapi langsung dipotong oleh Bu Shafira.
“Stop, sudah.
Percayalah kepada dirimu, Syari,” tanggap Bu Shafira atas tolakan Syari
kemudian Bu Shafira pun meninggalkan kamar. Syari hanya bisa cemberut dengan
keputusan ibunya.
Esok harinya, Syari
sedang sibuk membaca majalah Bobo. Majalah itu memang sudah menjadi favoritnya
Syari.
“Syari, makan dulu,
sayang.” panggil Bu Shafira dari lantai bawah.
“Iya, Bun.” sahut
Syari sambil menuruni tangga penghubung lantai satu dengan lantai dua.
Di lantai bawah,
Syari langsung memakan makanan yang sudah disediakan. Selagi makan, Bu Shafira
berbicara kepada Syari.
“Syari, nanti qabla
maghrib, kamu langsung ke masjid untuk DKM, ya,” ujar Bu Shafira kepada Syari.
“Hah, Syar takut,
Bun,” tolak Syari dengan wajah terkejut.
“Kakak penakut, nih,
yeeee,” ejek Hafidz sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke arah Syari.
“Heh, sembarangan aja
kamu, Fidz. Kakak bukannya takut, Kakak hanya malu!” Syari membela dirinya
karena kesal diejek oleh adiknya.
“Sudah, sudah,
pokoknya nanti kamu siap-siap, ya!” perintah Bu Shafira lalu menyeruput tehnya.
“Huh, iya, Bun.”
Syari menyerah kepada keputusan ibunya yang sudah bulat. Syari melahap suapan
terkahir nasi goreng buatan ibunya.
Sekarang sudah mau masuk waktu maghrib, Syari langsung
mengenakan khimar biru andalannya dan juga gamis biru langit kesukannya. Dia
membawa tas berisi al-Qur’an dan bekal dari Bu Shafira.
“Ayo, sayang, kita
berangkat.” ujar Bu Shafira dari teras rumah.
“Iya, Bun.” sahut
Syari sambil berlari menuju lantai bawah.
Di lantai bawah, Bu
Shafira sudah siap mengantar Syari ke masjid. Syari pun menyusul ibunya ke
bawah. Setelah itu, mereka berdua berangkat ke masjid. Saat perjalanan, jantung
Syari berdetak kencang.
“Bun, Syari takut,
Bun,” ujar Syari kepada Bu Shafira.
“Takut kenapa, Syar?
Tenang saja.” bujuk Bu Shafira menenangkan Syari.
Setelah beberapa lama
berjalan, akhirnya mereka sampai di masjid. Di sana sudah ada seorang wanita
yang menunggu kedatangan Syari.
“Assalamu’alaikum,
Bu. Ini Syari, ya?” Wanita itu memberi salam kepada Bu Shafira.
“Wa’alaikumussalam.
Iya, ini Syari. Tuh, Syar, ikut sama kakak itu,” perintah Bu Shafira kepada
Syari.
“Yuk, Syari, ikut
dengan Kakak!” ajak wanita itu sambil menggandeng tangan Syari ke dalam masjid.
Di dalam masjid,
banyak sekali anak-anak yang berkumpul. Ada yang laki-laki, ada yang perempuan.
Saat, itu, wanita itu menyalami semua anak yang ada di sana.
“Anak-anak,
perkenalkan, ini Syari, dia akan menjadi anggota baru kita!” ujar wanita itu
kepada semua anak-anak.
“Assalamu’alaikum,
Syari!!” salan seluruh anak-anak kepada Syari. Melihatnya, Syari tersenyum
malu.
“Wa’alaikumussalam,”
balas Syari pelan.
“Nah, sekarang kita mulai ngaji bareng sama Kakak, ya,” ujar
wanita iu kembali kepada seluruh anak-anak.
“Baik, Kak Shafa!!” tanggap
seluruh anak-anak kepada wanita yang ternyata bernama Kak Shafa itu.
“Syari, sekarang kamu
duduk di sebelah Malia, yang pakai kerudung kuning itu, ya” suruh Kak Shafa.
Syari langsung duduk di sebelah gadis berkerudung kuning.
“Hai, nama kamu
Syari, ya?” Gadis berkerudung kuning bernama Malia itu ingin berkenalan dengan
Syari seraya mengulurkan tangannya.
“Iya, namaku Syari.” jawab
Syari sambil membalas uluran tangan Malia dan menyalaminya.
“Semua buka
al-Qur’anya!” perintah Kak Shafa kepada semua anak, semuanya pun langsung
membuka al-Qur’annya masing-masing. “Buka Surah Al-Alaq ayat 1 sampai 5.”
lanjut Kak Shafa. Semua anak pun menurutinya.
“A’udzubillahiminasysyaithaanirrajim…” Kak
Shafa membaca ta’awudz.
“A’udzubillahiminasysyaithaanirrajim…”
semua anak langsung mengkuti ta’awudz yang dibacakan Kak Shafa.
“Bismillahirrahmaanirrahiim..” Kak Shafa pun
membacakan bismillah. Semua anak kembali mengikuti bacaan Kak Shafa.
Kak Shafa pun
membacakan ayat satu sampai lima diikuti seluruh murid. Setelah itu, Kak Shafa
memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat tersebut.
“Jadi, Surah Al-Alaq
ayat 1-5 ini merupakan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah swt.” jelas Kak
Shafa. Kak Shafa terus memberikan materi hingga maghrib tiba.
“Yak, sudah maghrib.
Siapa yang berana adzan yang ikhwan?!” tanya Kak Shafa. Seorang anak lelaki
mengacungkan tangannya. “Ya, Adri, ayo adzan!” seru Kak Shafa.
Adri lalu
mengumandangkan adzan, setelah selesai, semua anak dan Kak Shafa langsung
berwudhu dan menunaikan shalat maghrib berjamaah. Setelah selesai, mereka
kumpul seperti tadi.
“Ya, sekarang Kakak
akan tunjuk satu orang ke depan..” Kak Shafa ingin salah seorang anak untuk
maju ke depan. “Ya, kamu Syari, ayo ke depan!” perintah Kak Shafa. Syari pun
langsung maju ke depan. Saat itu, semua anak bertepuk tangan kepada Syari.
Syari pun tersenyum malu.
“Syari, bacakan Surah
An-Nas!” perintah Kak Shafa.
Syari langsung
membuka surah yang diminta, lalu mengucapkan ta’awudz. Setelah itu, Syari langsung
membacakannya.
“Qul a’uudzuu
birabbinnaas..” Syari membacakan surah itu dengan penuh penghayatan. Semua
murid termasuk Kak Shafa kagum dengan bacaan al-Qur’an Syari yang sangat merdu.
“Tepuk tangan untuk
Syari!!” seru Kak Shafa, semua anak langsung bertepuk tangan keras. Syari pun
kembali ke tempat duduknya.
“Syari, kamu hebat!”
puji Malia yang duduk di sebelahnya.
“Oh, ya?” Syari
tersipu malu.
“Iya, ajarin, dong
cara ngaji kayak kamu, Syar!” ujar seroang anak berkerudung hitam yang duduk di
belakang Syari.
“Iya, ajarin, dong
Syar!” pinta Malia.
Mendengar
permintaan-permitaan mereka, Syari tidak sanggup untuk menolak. “Baiklah, akan
kuajarkan kalian mengaji tiap hari!” seru Syari.
“Yeeeeeeyyy!!” sorak
seluruh anak keras.
“Heheheh, udah dulu,
anak-anak. Nah, sekarang Kakak akan memberikan materi, dengarkan, ya1” perintah
Kak Shafa.
Kak Shafa kemudian
memberikan materi bertema “Masjid sebagai Rumah Kita”. Saat menyimak, Syari
merasa sangat senang dapat mempunyai teman-teman baru.
Esok harinya, Syari pergi ke masjid. Saat Syari hendak
berangkat ke masjid, Bu Shafira bersiap-siap untuk mengantar Syari.
“Bun, ayo cepat!”
seru Syari dari lantai bawah.
“Iya, Syar. Ini Bunda
juga sedang pakai kerudung!” balas Bu Shafira dari lantai dua. Setelah beberapa
lama, Bu Shafira akhirnya turun ke lantai bawah. Di sana, Syari sudah siap
dengan kerudung merah muda bermotif polkadot kesukaannya. Selain itu, Syari
juga sudah menyiapkan al-Qur’annya di dalam tas. Setelah siap, akhirnya Bu
Shafira dan Syari berangkat. Dalam perjalanan mereka ke masjid, mereka
mengobrol berdua.
“Bun, Syari seneng
banget, Syari punya banyak teman di sana!” seru Syari bahagia.
“Alhamdulillah kalau
kamu senang, Syar. Ibu senang sekali,” respons Bu Shafira.
Setelah beberapa lama
berjalan, akhirnya mereka berdua sampai di masjid. Syari pamit kepada ibunya.
“Assalamu’alaikum,
Bun. Syari mau kumpul dulu, ya,” pamit Syari kepada Bu Shafira.
“Wa’alaikumussalam,
Syar. Hati-hati, ya, kamu di sana,” pesan Bu Shafira. Setelah itu, Bu Shafira
pun meninggalkan masjid. Semestara itu, Syari langsung berlari masuk masjid.
“Assalamu’alaikum,
Syar!” salam teman sebayanya.
“Wa’alaikumussalam,
Safina!” balas Syari terhadap salam temannya, Safina.
“Syar, ayo ajarin
kita ngaji!” seru Shela, teman Syari.
“Baik, ayo mulai!”
seru Syari.
Syari kemudian
langsung mengajarkan mereka huruf hijaiyah. “Yang ini bacanya ‘la’, yang ini
bacanya ‘sya’, dan yang ini bacanya ‘dho’.” Syari memberikan materi kepada
teman-temannya.
“Kalau garis yang ada
di bawah, di atas, dan kaya huruf wau ini bagaimana bacanya?” tanya Disha.
“Oh, itu namanya
fathah, kasrah, dan dammah. Kalau fattah, dibacanya dengan huruf ‘a’, contohnya
sya, ba, sa. Kalau kasrah, dibacanya dengan huruf ‘I’, contohnya syi, bi, si.
Dan kalau dammah, dibacanya dengan huruf ‘u’, misalnya syu, bu, su.” jelas
Syari.
Berjam-jam Syari
mengajarkan huruf hijaiyah kepada mereka, akhirnya tiba waktu mereka untuk
pulang.
“Assalamu’alaikum,
semuanya. Aku duluan, yah, bundaku sudah jemput!” pamit Syari kepada
teman-temannya.
“Wa’alaikumussalam,
Syari!” balas teman-temannya.
Sudah berhari-hari Afina mengajari mereka materi tentang
membaca al-Qur’an. Namun, Syari mengalami peristiwa tak terduga pada hari
Selasa ini. Saat itu, Syari sedang mengajarkan hukum waqaf kepada
teman-temannya.
“Syar, kalau waqaf
yang kayak huruf alif lam ini hukumnya apa?” tanya Malia.
“Itu…artinya..tidak
boleh berhenti, harus diteruskan.” jawab Syari.
“Syar, kamu kenapa,
kok kayak yang lemas?” tanya Disha.
“Aku dari tadi merasa
tidak enak badan,” jelas Syari sambil memegang keningnya.
“Minta izin dulu saja
kepada Kak Shafa,” usul Shela. “Aku temenin, nih,” lanjutnya.
“Oh, ya, Shel.
Makasih,” ucap Syari lalu menggendong tas punggungnya dan pergi menghadap Kak
Shafa.
“Permisi, Kak, saya
merasa tidan enak badan, bolehkah saya pulang dulu, Kak?” tanya Syari.
“Oh, kenapa? Ya
sudah, Kakak akan anterin kamu ke rumah kamu, ya,” Kak Shafa bermaksud ingin
mengantar Syari yang sedang sakit.
“Makasih, Kak!” ucap
Syari.
“Anak-anak, lanjutkan
saja kegiatannya, ya. Kakak mau mengantar Syari dulu ke rumahnya,” seru Kak
Shafa.
“Iya, Kak!” balas
seluruh anak.
Kak Shafa pun
mengantarkan Syari ke rumahnya. Di rumah, ibunya berterima kasih karena Kak
Shafa sudah mengantarkan Syari ke rumahnya.
Beberapa hari kemudian, teman-teman Syari merasakan
kebosanan karena Syari tidak ada, padahal Syari selalu mengajari mereka
mengaji.
“Huh, bosan kalau Syari tidak ada,” keluh Malia.
“Iya, benar,” respons Disha.
Tidak lama kemudian,
Kak Shafa memasuki masjid dan memberikan pengumuman.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,” salam Kak Shafa.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semua anak.
“Ada kabar duka.
Kemarin, teman kita Syari baru saja dibawa ke rumah sakit.” beritahu Kak Shafa.
Semua anak terkejut.
“APA!?” teriak Disha,
Malia, dan Shela bersamaan.
“Syari sakit apa,
Kak?’ tanya Ahmad, teman lelaki Syari.
“Ibunya bilang kalau
Syari menderita kanker otak,” jawab Kak Shafa sambil meneteskan air mata.
“Ya Allah, Syari..”
Malia menangis karena penyakit yang diderita temannya itu.
“Sekarang, kita
berdoa akan kesembuhan Syari, al-Fatihah!” seru Kak Shafa. Semua murid pun
langsung khusyuk berdoa lalu mengaminkan doanya.
“Kak, kapan kita bisa
jenguk, Kak?” tanya Disha khawatir.
“Mungkin seminggu
lagi, dia dirawat di RS Harapan Bunda,” beritahu Kak Shafa.
“Terima kasih, Kak,”
ucap Shela. Semua murid pun menangisi keadaan Syari.
Seminggu kemudian,
anak-anak DKM Masjid Ash-Shaff mendatangi RS Harapan Bunda. Mereka menanyakan
akan keberadaan Syari, ternyata dia sedang dirawat di UGD. Mereka semua pun
bergegas ke UGD rumah sakit.
“Semoga Syari
baik-baik saja,” doa Kak Shafa di hadapan seluruh anak.
“Aammiiiin.” Semua
anak mengaminkan doa Kak Shafa.
Di ruang tunggu UGD,
terlihat Bu Shafira yang sedang menangis. Melihat itu, Kak Shafa menanyakan
kondisi Syari.
“Assalamu’alaikum,
Bu. Bagaimana kondisi Syari, Bu?’ tanya Kak Shafa.
“Kondisi Syari sudah
kritis, dokter bilang hidupnya diperkirakan tinggal satu jam lagi,” jawab Bu
Shafira lirih kemudian lanjut menangis.
“Ya Allah, Syari,”
Malia meneteskan air mata begitu mendengar kabar tentang Syari.
“Oh, ya, kemarin
Syari memberikan catatan ini untuk kalian baca,” beritahu Bu Shafira.
“Baik, Bu, akan saya
bacakan,” Kak Shafa akan membacakan surat tulisan Syari kepada seluruh anak,
“Assalamu’alaikum, sejak pertama kali
aku bertemu dengan kalian semua, aku merasakan suasana yang berbeda dari
biasanya. Sekarang, hatiku lebih cerah, tidak seperti sebelumnya yang dingin
karena kesepian. Kalian semua sholeh dan sholehah, aku ingin selalu bersama
kalian baik di sini maupun di sana. Semoga kita semua dapat berkumpul di dunia
maupun di surga di akhirat nanti.”
Semua anak sontak
menangis mendengar surat dari Syari, mereka berjanji akan lebih menyayangi
Syari sebagai teman.
“Aku akan selalu
menyayangi Syari,” ujar Shela lirih.
“Aku juga,” ujar
Safina sambil terisak-isak.
Tiba-tiba, ada dokter
wanita yang memanggil.
“Atas nama Syariah
Hidayatul!” seru dokter tersebut.
“Saya ibunya, Dok!”
Bu Shafira mengacungkan tangannya sambil menyeka air matanya.
“Innalillahi wa inna
ilaihi raji’uun, ananda Syari sudah pulang ke Rahmatullah,” beritahu dokter.
“Syariiiiiiii……”
teriak Bu Shafira kencang.
Semua murid menangis.
Mereka tidak akan pernah melupakan Syari sebagai teman sekaligus sahabat
mereka. Syari adalah orang yang sangat di kehidupan mereka.
“Selamat tinggal orang-orang yang
kusayangi, semoga kita dapat berjumpa di surga,” seru ruh Syari yang memadang mereka
dari langit.***