[Karya Guru] Tradisi dan Tragedi dalam Cerpen “Nu Ceurik Dina Lahunan” Karya Darpan

Oleh: Sandri Sandiansyah, M.Pd. (Guru Bahasa Sunda)

Abstrak: Hakikatnya karya sastra tidak lepas dari kehidupan yang ditafsirkan oleh pengarang kemudian direfleksikan menjadi tulisan atau karya yang sifatnya imajinatif. Kehidupan yang ditafsirkan oleh pengarang bisa diambil dari diri pribadinya atau dari luar pribadinya, dalam hal ini lingkungan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu meskipun sifatnya imajinatif, tapi dalam pembuatannya, sebuah karya sastra tidak akan lepas dari lingkungan masyarakat yang membentuknya. Begitu juga dalam karya-karya Darpan. Kehidupan sosial masyarakat kerap sekali muncul, terutama kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat kecil. Bahkan tak jarang masalah tradisi menjadi latar belakang dalam pembentukan ceitanya. Hal itu tampak terlihat dalam cerpennya yang berjudul ”Nu Ceurik dina Lahunan” (Menangis dalam Pelukan). Melangsungkan pernikahan setelah panen menjadi tradisi di kebanyakan masyarakat Karawang. Namun akibat kurang adanya kesigapan dan perhitungan, tradisipun akhirnya menjadi tragedi.

Kata kunci: darpan, tradisi, tragedi

Persoalan keadaan, kondisi atau situasi tentang penggambaran pilemburan dalam khasanah kesusastraan Sunda khususnya prosa dalam bentuk carpon seakan menjadi tema-tema besar dari setiap pengarang. Tema-tema seperti ini seakan menjadi garapan yang tidak pernah habis untuk dituliskan. Setting, suasana, waktu, bahkan peristiwa (kondisi sosial) yang ada dan terjadi di pilemburan, sering dihadirkan.

Bahkan sampai saat ini tak jarang kita temukan karya sastra Sunda yang bernuansa pilemburan dan persoalan rumah tangga. Kita bisa temukan dalam beberapa buku, majalah, koran, bahkan jejaring sosial. Telah banyak pengarang-pengarang Sunda dari masa ke masa yang asik menuliskan persoalan keadaan lembur. Dari banyaknya pengarang Sunda yang matang dalam mengolah tema-tema tersebut Darpan muncul sebagai salah satu pengarang yang carpon-carponnya (carita pondok/ cerita pendek) berangkat dari kondisi pilemburan dan realitassosial. Namun tidak sebatas itu, dalam menuliskan karyanya Darpan berhasil menyelipkan nilai-nilai tradisi yang terkandung dan hidup di daerahnya.

Darpan adalah orang Karawang yang basa Sundanya ‘kasar’. Semulanya pernah menjadi jurnalis, namun kemudian menjadi seorang PNS pada tahun 2005, telah berhasil mencuri perhatian kalangan ahli kesusastran Sunda, yang salah satunya adalah Ajip Rosidi, dengan membuktikan diri dalam kumpulan carponnya berjudul “Nu Harayang Dihargaan” sebagai pemenang hadiah sastra Rancagé pada tahun 1998, Hadiah Sastra D.K. Ardiwinata tahun 1993, dan beberapa kali carpon-carponnya menjadi carpon pemenang bulanan di majalah Manglé. Telah berhasil mendobrak kesusastraan Sunda dengang gaya bahasa Sunda khas Karawang dalam karya-karyanya.

Namun di sini kita jangan terlalu panjang untuk membahas Darpan dan biografinya. Sebab kita akan lebih mengenal sosok Darpan jika kita membahas dari segi karyanya. Baik kita mulai untuk membahas salah satu carponnya yang berjudul “Nu Ceurik Dina Lahunan” dari segi nilai tradisi dan realitas yang terkandung di dalamnya.

Untuk lebih memudahkan dalam mencerna dan memahami carpon ini sebelumnya saya akan memaparkan sinopsisnnya. 

Carpon ini menceritakan tentang kaadaan lembur yang gagal panen, mengakibatkan urang lembur kehilangan penghasilan, banyak pengangguran, dan tak jadi kawin dll. Hingga ahirnya timbul keadaan yang cukup prihatin misal, adanya pencurian dan pemerkosaan.

Selanjutnya carpon ini menceritakan pemuda-pemuda (Kang Acid, Eman, Kohar, dan Kuring) lembur beserta keluarganya, yang hidupnya hanya mengandalkan lahan sawah sebagai sebuah penghasilan. Namun ketergantungan ini ternyata menjadi tamiang meuilt ka bitis (blunder), sebab beberapa tahun kemudian musim panen yang ditunggu-tunggu oleh mereka ternyata gagal total (panen puso), akibat serangan hama yang menjalar. Bukan hanya itu, paceklik yang panjang menjadi alasan mengapa para petani di daerah tersebut menghadapi kesulitan dalam menanam. Padahal ada sebuah harapan dari pemuda dan keluarganya untuk melaksanakan pernikahan setelah panen dengan pasangannya masing-masing, dan itu ternyata sudah direncanakana sebelumnya.

Adanya musim paceklik yang panjang dan wabah hama yang mengakibatkan gagal panen berdampak pula pada nasib urang lembur, rencana-rencana yang semula dibangun oleh pemuda-pemuda sebelum masa panen terpaksa harus ditunda. Urang lembur yang seharusnya setelah panen mengawinkan anak-anaknya terpaksa harus dibolaykeun dan pasrah terhadap nasib.

Dan akibat dari semua itu, pemuda-pemuda di daerah tersebut dengan terpaksa tidak lagi bekerja dan ahirnya nganggur. Namun untuk sekedar uang jajan dan rokok kemudian para pemuda memilih untuk ngeprak (mencari burung di pesawahan dengan bantuan awi/bambu) yang kemudian dijual ke pasar. Lumayan sekedar untuk mencukupi hidupnya sebagai pemuda lembur pada saat itu. 

Dalam carpon ini diceritakan juga akibat dari gejala yang timbul setelah adanya peristiwa tersebut (panen puso). Orang-orang pada akhirnya memilih hawa napsu dalam menyikapi hidupnya, semisal mendahulukan nganjuk, daripada usaha sendiri, lebih memilih kabur ke kota, banyaknya kejadian pencurian dan perampokan serta dalam carpon ini juga diceritakan tentang kebejadan napsu manusia. Adanya peristiwa pemerkosaan yang dilakukan pemuda (Kang Acid, Kohar dan Eman), menjadi akibat pula dari keadaan tersebut.

Baiklak, selanjutnya mari kita cari apa yang menjadi tradisi dan realitas seperti apa yang ada dalam carpon ini, saya memulai dengan kalimat pembuka carpon ini.:

Nya kaayaan meureun, anu ngalantarankeun kudu aya kajadian saperti harita. Kaayaan anu nyababkeun urang lembur leuwih ngagugu napsuna batan pikiran sehatna; kalah miheulaan anjuk hutang upamana, batan ngalakonan usaha séjénna. Enya, éta kaayaan téh réa nyababkeun jalma jadi baluweng pikir, linglung. Kaayaan anu ngaburak barik rupa-rupa rencana jeung harepan-harepan.

Nya kaayaan ogé, anu ngajurung kuring jeung batur-batur sapangulinan di lembur, jadi rajin ngeprak. Ungga poé ngasruk-ngasruk dapuran paré anu garung……. 

(Yah sepertinya keadaan, yang menyebabkan adanya kejadian seperti waktu itu. Keadaan yang menyebabkan orang sekampung lebih mengikuti napsunya dari pada akal sehatnya; malah memilih mengutang, dari pada bekerja.Yah keadaan banyak menyebabkan manusia jadi bingung memikirkan, linglung.Keadaan yang merusak berbagai rencana dan harapan-harapan.

Yah keadaan pula, yang menyebabkan saya dan teman-teman sepermainan di kampung, jadi rajin ngeprak. Setiap hari masuk ke petakan sawah yang gagal)

Sebenarnya sudah sangat jelas digambarkan apa yang menjadi persoalan yang dihadapi oleh masarkat terutama pemuda yang ada, cuma memang keadaan (baca: sebab) seperti apa dan bagaimana, belum digambarkan jelas dalam kalimah pembuka. Sebab sekan-seakan pembaca diajak untuk panasaran, apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini. Selanjutnya dicertikan:

Enya, kuduna mah harita téh panen ramé, waktuna patani di lembur kuring metik hasil capé gawéna. Waktu suka bungah sanggeus meureut kesang guyang leutak, atawa dalit jeung morérétna panonpoé, atawa sanggeus baal kahujanan kaanginan. Kari-kari, waktuna paré beukah, nu kuduna tuluy ngeluk baruahan, ieu mah ringsang téh bet tuluy ngacung, tuluy bodas, sarta tuluy garing. Hapa. Sawah-sawah jadi garung. Parena teu kaala. Sundep ceuk urang desa mah, nu nyababkeunana hileud panggerek batang. Lantaran eta hama, tina sadapuran paré téh, paling hiji dua anu jadi buah mah.

(Yah, seharusnya waktu itu ramai panen, waktu petani di kampung saya memetik buah kerjanya. Waktu datangnya bahagia setelah susah payah bekerja, atau terbiasa berpanas-panasan dengan matahari, atau setelah menggigil kehujanan dan keanginan. Saat waktunya padi berbuah, yang seharusnya berisi dan merunduk, malah tidak berbuah dan terus berdiri, berwarna putih, dan ahkirnya kering. Hapa. Sawah-sawah jadi garung. Padi tidak terpanen. Sundep kata orang kampung menyebutnya, terkena hama ulat batang. Lantaran hama itu, dari satu petak padi, paling satu dua yang berbuah).

Kondisi inilah sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pengarang. Gagal dalam panen menjadi inti dari cerita ini, menjadi sebab yang kemudian mengakibatkan muncul beberapa gejala sosial yang lainnya. Semisal, muncul pengangguran, pencurian, kabur ke kota, bahkan sampai pemerkosaan. 

Namun dari semua itu, ada yang menarik yang ingin disampaikan oleh pengarang. Persoalan tradisi yang ada di masarakat Karawang seolah ingin diungkab. Pengarang dengan cerdik nyelap-nyelapkeun (menyisipkan) tradisinya sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik. 

Tradisi atau kebiasaan orang Karawang pada saat itu adalah menikahkan anak-anaknya setelah panen, yang sebelumnya sudah ada perjanjian dengan kedua keluarga. Dalam artian sudah direncanakan sebelumnya. Namun jika panen mengalami kegagalan, maka rencana-rencana untuk melaksanakan acara pernikahan sontak dibatalkan dan itu menjadi aib tersendiri bagi anak-anak yang tidak jadi dinikahkan.

Persoalan biaya yang kemudian muncul dalam hal ini. Masarakat menganggap setelah panen mereka memiliki modal yang cukup untuk menikahkan anak-anaknya. Namun sebaliknya ketika panen gagal alias puso, masaraka akan berbuat apa? Untuk pengembalian modal pun, entah ada atau tidak.  

Dan itu terjadi dalam carpon Darpan. Dalam carpon “Nu Ceurik Dina Lahunan” sangat jelas sekali menggambarkan persoalan itu. Bukan hanya satu keluarga yang bermaksud menikahkan anak-anaknya setelah panen, tapi beberapa keluarga. Namun akibat gagal panen rencana untuk menikah ternyata harus ditunda. 

Sanggeus nyorang paceklik panjang, sanggeus numpuk-numpuk harepan tina kesang anu juuh, urang lembur kudu nyanghareupan kanyataan anu matak ngarieutkeun jajantung. Harepan-harepan peuray, lir haseup katebak angin. Rupa-rupa rencana urang lembur tingpuruluk. Mang Darma anu kuduna panen ieu ngawinkeun anakna nu kadua, kapaksa kudu ngabolaykeun niatna. Kang Acid, Eman, Romlah, nu kuduna panen ieu ka balé nyungcung, kapaksa kudu pasrah kana nasibna. 

(Setelah datang paceklik panjang, setelah menumpuk-numpukan harapan dari banyak keringat, orang kampung harus berhadapan dengan kenyataan lainnya yang juga menyengsarakan. Harapan-harapan hilang, seperti asap yang terbang terbawa angin. Berbagai rencana orang kampung hilang. Mang Darma yang seharusnya panen kali ini mengawinkan anaknya yang kedua,  terpaksa harus meluluhkan niatnya. Kang Acid, Eman, Romlah, yang seharusnya panen kali ini ke penghulu, terpaksa harus pasrah dengan nasibnya).

Bigitupun Rina yang dikisahkan pernah dekat atau sebagai “mantan calon” dengan tokoh kuring ahirnya memiliki nasib yang sama. Rina harus menunda pernikahannya dengan Kosim. Bukan sebatas itu, mereka pun harus menanggung malu.

Rina! Kuduna panén ieu manéhna ogé kawin. Enya, jeung Kosim. Saméméhna kapan geus dirarancang……….

Tapi panénna puso kabina-bina.

Jeung kaayaan deui baé kawasna, anu ngajurung Kosim mangkat ka kota, milu kuli jeung batur-baturna nu séjén. Teuing inditna téh memang hayang usaha baé cara batur, atawa nyingkahan kaéra jeung omongan urang lembur. 

(Rina! Harusnya panen kali ini kamu menikah. Yah dengan Kosim. Yang sudah direncanakansebelumnya……

Tapi panennya gagal total

Dan sepertinya keaadaan, yang menyebabkan Kosim pergi ke kota, menjadi kuli dengan yang lainnya. Entah kepergiannya itu memang keinginan akan bekerja seperti yang lain, atau menutupi rasa malu dan omongan orang kampung).

Melaksanakan pernikahan setelah panen dan resiko dari gagal panen menjadi tradisi di masarakat Karawang yang terkenal juga dengan kota beras, hadir dalam cerita-cerita Darpan. Dengan mengangkat persoalan kebiasaan dan réalitas yang ada, pengarang telah menyuguhkan cerita yang asik dan khas dengan basa Sunda Karawangnya, sekali lagi berhasil merenggut serta ngeuyeuban  khasanah kesusastraan Sunda.  Dalam penutup cerita ini, pengarang menghadirkan realitas sosial sebab akibat dari batalnya pernikahan. Kang Acid, Eman dan Kohar melakukan perbuatan bejad terhadap Rina. Mereka memperkosa Rina yang kebetulan saat itu Rina sedang berada di saung. Dan pada perjalanannya Rina tak sempat kawin, entah karena malu, entah karena apa. Terkadang tradisi bisa saja menciptakan tragedi. Tapi jika manusia lebih dalam memikirkan sebuah antisipasi,  niscaya tragedy tidak akan terjadi***